hei hei guys, I made a simple story for my school event, BUBLE. well, I don't know if it good or not. just read it if you wish ok??
Always Bestfriend
Aku tahu, ini semua bukan murni salahmu. Akupun terlibat dalam masalah ini. Dan aku bukanlah murni sebagai objek penderita disini. Perbuatanku juga mempengaruhi semuanya. Dan aku tahu, salahku begitu kejam menuduhnya, menuntut tanggung jawab sepenuhnya pada dia. Dan itu sebuah kesalahan yang amat fatal.
Sebuah keegoisan telah merusak tali persahabatanku. Dengan egoisnya aku telah menuduhnya, melampiaskan segala emosi yang ada pada saat itu. Dan aku tahu itu salah. Tapi tetap saja aku melakukannya. Dan itu sebuah kebodohan yang mungkin tak akan dimaafkan olehnya.
Aku tahu dia. Aku tahu dia sampai ke rahasia terkelamnya. Dan begitu juga sebaliknya. Yang aku tidak mengerti, mengapa semua ini terjadi. Padahal kami telah mengenal satu sama lainnya sebegitu dalamnya. Tapi mengapa kami tidak bisa mengerti satu sama lain? Mengapa kami begitu mudahnya terbawa oleh emosi? Sebenarnya apa yang terjadi pada kami?
Padahal dulu kami begitu akrab. Padahal dulu kami begitu mengerti satu sama lain. Pasti ada alasan lain. Aku yakin sekali akan pikiranku satu ini.
Besok, aku akan coba meminta maaf padanya. Dan aku harap, dia akan memaafkanku.
***
Baik, sepertinya aku salah. SALAH BESAR. Dengar itu baik-baik. dia sama sekali tidak bisa mengertiku sedikitpun. Tidak bisa mengerti kesalahan orang yang dilakukan secara tidak sengaja. Dan juga dia tidak mau mengakui kesalahan diri sendiri.
Seharusnya dia tidak marah-marah seperti tadi. Seharusnya dia tidak membentakku seperti tadi. Aku sudah menahan emosiku agar kami bisa berbaikan. Tapi nyatanya dia malah membentakku, tidak menghargai satu patah katapun yang keluar dari mulutku. Apakah itu seorang sahabat? Bahkan apa bisa dia dibilang temanku? Tidak sama sekali.
Cukup sudah, aku sudah bosan. Selama ini aku sudah cukup bersabar menghadapi sifat-sifatnya yang benar-benar membuatku muak. Aku bersabar karena aku tahu akupun juga mempunyai sifat-sifat yang membuat dia kesal. Tapi rupanya kesabaran aku ini tidak dibalas setitikpun olehnya. Jadi percuma saja aku bersabar lebih lama lagi. Percuma saja aku berusaha mengerti dia. Hanya ssebuah usaha yang sia-sia.
Aku paham dia sangat amat marah padaku. Kesalahanku, yang langsung saja menuduhnya tanpa investigasi terlebih dahulu, membuatnya merasa dikhianati. Tapi memang, berita itu sangat amat membuatku marah. Dion adalah pacarku. Dia adalah orang yang sangat kusayangi, seperti aku menyayangi dia. Karena itu aku langsung saja percaya dengan berita miring itu. Oke, oke, aku memang salah. Tapi itu human error, oke? Dan aku tidak percaya dia tidak mengerti hal itu.
Jika ditanya perasaanku, aku sangat marah. Namun jauh dilubuk hatiku, aku sangat sedih. Melebihi amarahku. Aku sedih mengapa persahabatanku dapat hancur begitu saja. Hanya karena emosi sesaatku. Hanya karena salah paham yang sepele. Hanya karena seseorang yang baru saja memasuki hidupku, hidup kami. Dion, Irvan, Ratih, Merli, semuanya. Aku benci Merli, dia yang telah memberitahuku gossip itu. Aku benci Ratih, dia yang menghasutku agar langsung melabrak dia. Aku benci Irvan, dia membuat sahabatku tidak mau memaafkanku. Aku benci Dion, dia yang membuatku buta akan segala kebaikkan sahabatku. Mengapa semua ini terjadi?
Aku tidak akan mengizinkan diriku untuk menangisi keadaan. Tapi disaat seperti ini, aku ingin sekali menangis. Aku ingin sekali menumpahkan segala kesedihanku. Aku ingin bercerita. Tapi dengan siapa? Sahabatkulah objek yang ingin kuceritakan. Jadi tidak mungkin aku akan bercerita dengan dia. Lagipula dia tidak akan mendengarkan saat ini. Lalu, kepada siapa aku akan bercerita?
***
Sebenarnya aku merasa tersiksa. Sangat tersiksa. Setiap kali aku berjumpa dengannya di koridor sekolah. Apalagi kami sekelas. Dan dahulu kami duduk sebangku. Tentu saja dia memilih pindah karena pertikaian kami ini. Walaupun dari luar aku tampak biasa, tampak juga marah dengannya, namun sesungguhnya aku menangis dalam hati.
Dahulu, untukku sekolah adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Selain aku sangat suka mempelajari sesuatu yang baru, juga karena ada dia. Dia adalah orang yang selalu membuatku bahagia. Saling mengerti satu sama lain, saling melengkapi satu sama lain. Rasanya teriris hatiku saat melihatnya menjauh dariku. Membuang mukanya dariku. Berjalan dengan orang lain yang bahkan tidak dia, maksudku kami, sukai. Aku tahu maksudnya. Dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa berdiri tanpa aku. dan sejujurnya itu sangat membuatku sedih.
Aku memilih sendirian. Sendirian merenungi masalah ini. Sebenarnya bagaimana kronologis masalah ini?
Pertama, Merli dan Ratih mendatangiku. Mereka memberitahuku kalau Arvi sedang berduaan dengan Dion. Pertama aku tidak begitu percaya. Aku percaya Dion dan Arvi. Arvi adalah sahabatku yang sangat berharga dan aku kenal dia. Dia tidak akan merebut Dion apapun yang terjadi.
Namun, tiga hari berturut-turut Merli dan Ratih mengatakan hal yang sama. Mau tidak mau aku harus menyelidikinya. Dan suatu saat aku menemukan mereka sedang duduk berdua dikantin, bercengkrama dengan riangnya. Jujur, aku emosi. Namun aku mencoba berpikir positif, mungkin mereka ada hal yang harus dibicarakan. Mungkin.
Dan sungguh aku benci ketidaktahuanku saat itu.
Setelah itu aku mulai menjauh dari Arvi. Arvi bingung, dan sempat bertanya kenapa. Namun aku memilih bungkam, sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya terhadap Arvi. Aku ingin tidak percaya, namun tidak bisa. Keduanya tidak pernah memberitahuku apa yang mereka bicarakan. Sesaat aku merasa dikhianati oleh pacar dan sahabatku sendiri. Dan itu sakit.
Merli dan Ratih berusaha membujukku untuk melabrak dia. Namun aku berusaha untuk menolak. Walaupun jauh dilubuk hatiku ingin sekali rasanya memuntahkan seluruh kekecewaanku di depan mukanya, namun aku bertahan. Tapi pertahananku lama-lama luruh dan terjadilah saat itu.
Saat aku memuntahkan seluruh amarahku didepan mukanya.
Aku ingat ekspresi dia saat itu. Antara marah, tidak percaya, dan kecewa. Marah karena telah diperlakukan buruk didepan umum. Tidak percaya aku akan mengamuk didepannya. Dan kecewa karena aku dengan mudahnya percaya dengan omong kosong belaka. Bagaimana tidak, itu terjadi di depan mukaku sendiri. Aku melihatnya.
Kami sama-sama kecewa saat itu. Dan hari itu, aku catat sebagai hari terburukku. Hari dimana semua hal menyenangkan yang telah kulalui bersamanya hilang begitu saja. Hanya karena emosi sesaat.
Sakit.
Hati ini terasa sakit sekali. perasaan kehilangan memang saat menyakitkan. Seperti dulu saat aku putus dengan Irvan. Namun kali ini lebih sakit. Jauh lebih sakit. Arvi adalah sahabat sejatiku, dahulu aku berpikir begitu. Dan aku berharap itu tercapai. Namun harapan hanyalah harapan.
***
Hari ini hari kedua aku diopname. Penyakit jantungku sudah semakin parah, dan membuatku harus dioperasi. Dan lebih parahnya lagi, Arvi belum mau memaafkanku.
Aku tahu dia sangat marah. Namun aku tidak tahu dia akan marah seperti ini. Aku ingin meminta maaf, tapi aku tidak bisa. Aku harus terus tidur di ranjang rumah sakit ini, menunggu saatnya aku dioperasi.
Selama dirumah sakit, aku berkali-kali mencoba untuk menelpon telepon seluler milik Arvi. Namun pilihannya hanya tiga. Mati, tidak diangkat, atau di reject. Pesanku juga tidak dibalas. Dan aku yakin, sebelum dibacapun sudah dihapusnya. Belakangan ini aku semakin skeptis. Hidupku tinggal sebentar lagi, dan sahabatku belum mau untuk memaafkanku. Dan menurutku itu sama saja mati.
Berkali-kali Dion menjengukku di rumah sakit. dia berusaha untuk menghiburku. Aku sedikit kecewa terhadapnya. Dia belum mau memberitahuku apa yang dibicarakannya dengan Arvi. Dia selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku berusaha menginterogasinya. Hal ini membuat dia sangat merasa bersalah. Aku tahu itu. Tergambar jelas dimukanya. Namun aku tidak peduli.
Saat ini, di detik-detik terakhir hidupku ini, aku hanya ingin Arvi ada disampingku. Tidak perlu menginap. Tidak perlu mengajakku mengobrol. Tidak perlu menghiburku. Cukup berada disampingku, diam tanpa bahasa, namun aku tahu dia sedang memberiku kekuatan untuk terus hidup.
***
Nanti jam empat sore, aku akan menjalani operasi. Dan aku ingin cepat mengakhiri hidupku ini. Kupikir untuk apa aku menjalani operasi kalau kemungkinanku untuk bertahan hanya 20%? Saat menyetujuinya, yang aku pikirkan hanyalah kalau aku mati, Arvi akan memaafkanku. Namun jika sampai saat ini Arvi masih belum menjawab telepon atau membalas pesaku, sepertinya itu sangat mustahil.
Sekarang pukul tiga sore. Satu jam lagi operasi akan dimulai. Dion datang untuk menemaniku. Parasnya pucat. Dia belum tidur sejak semalam. Dan dia bolos sekolah selama tiga hari berturut-turut untuk menemaniku. Aku merasa tersanjung, namun hal itu tidak bisa membuatku bahagia. Yang aku butuhkan hanya Arvi.
Aku sudah masuk ruang isolasi. Sepuluh menit lagi aku akan memasuki ruang operasi. Diruang ini aku diperiksa secara keseluruhan untuk memastikan bahwa kesehatanku cukup mendukung jalannya operasi. Untuk membesarkan peluang aku bertahan setelah operasi. Namun aku tidak peduli. Arvi masih belum mau memaafkanku. Jadi tidak ada gunanya aku bertahan setelah operasi.
Tiba-tiba, dari arah pintu di ujung lorong, ada suara derap langkah lari. Aku menyeringai. Tidak mungkin ia akan diizinkan masuk ke dalam lorong menuju ruang isolasi.
Aku memejamkan mata. Sebentar lagi, aku akan dibius dan entah akan terbangun lagi atau tidak. Namun aku mendengar suara ketokan di kaca tembus pandang yang mengarah ke lorong. Sesaat aku merasa itu malaikat pencabut nyawa yang sedang memanggilku. Atau setidaknya itu adalah ilusiku karena putus asa.
Namun ternyata tidak. Itu Arvi. Nafasnya terengah-engah. Rupanya dia yang berlari menyusuri lorong tadi. Aku terperangah dan tersenyum. Aku meminta dokter yang akan mendorongku memasuki ruang operasi untuk mendorongku mendekati kaca. Arvi memandangku dari sana.
Sesaat kami saling berpandangan. Arvi tersenyum. Aku berusaha berkata, tapi Arvi menempelkan telunjukkan ke jendela, pertanda menyuruhku untuk diam. Kami saling senyum. Aku tahu dia telah memaafkanku. Aku tahu itu.
Dia menempelkan telapak tangannya ke kaca. Aku berusaha untuk mengikutinya. Aku dan Arvi berkhayal tangan kami bersentuhan, saling mengungkapkan segala rasa dan pikiran tanpa kata-kata. Arvi tersenyum sekali lagi, dan aku mengikutinya. Dokter yang akan mengoperasiku memintaku untuk melepaskan tanganku dari kaca karena tempat tidurku akan didorong ke dalam ruang operasi. Rasanya enggan sekali kulepas, namun aku harus melepasnya. Karena aku harus menghadapi takdirku. Dan aku tidak takut.
Karena aku tahu aku punya seorang sahabat sejati yang aku harapkan. Karena aku tahu sesusah apapun dia akan menyemangatiku. Karena aku tahu, dia telah memaafkan kesalahanku.
Dan karena aku tahu aku masih punya alasan untuk hidup.
***
Arvi mengenggam selembar kertas lusuh ditangannya yang bergetar. Rasanya tidak perlu ia mengeluatkan sepatah katapun untuk mengungkapkan perasaannya saat itu.
Kertas itu ia baca sekali lagi, dengan penuh penghayatan. Dan kali ini dengan suara yang lebih lantang. Karena ia ingin agar Luna mendengarnya.
When the earth fell
I don't promise myself to be there
Even when you try to yell
Coz I might stay in other side of the sphere
But I will pray you’ll stop waiting
And get a friend near you to run together
So both of you didn’t fell
And find a place of shelter
When you will commit suicide
No oath given form me to save you
Or being right there on your side
Coz maybe I don't even know what to do
But I will make you sure you know
Whether your decision is right or wrong
And I’ll just get on your flow
Hoping you’ll be just as strong
When both of us are away
Never have I promised to travel searching
To give you word of shelter to say
Coz I might not able to think
But I’ll think of you
For the existence you let me feel
Even they’re just a lifetime’s few
Because all these feeling are real
When I vanished from you
I don't say I'll say sentimental stuff
Which I bet far from true
Coz I'll disgusted about the buff
I might just say what I hate about you
So you’ll get even more friends
That will never once flew
And never think to trenches
When you went all stressed
I'm not saying I'll give you peace
For frustration to suppressed
Coz I might prefer to enjoy my own bliss
But still, I have something to give
That is to keep on silent
So with independence you’ll able to live
And alone you’ll have troubles prevented
We’ll both grow
Sail on different ship
With different water flow
But same unique kind of friendship
Puisi dengan bahasa inggris yang ia tulis bersama Luna saat mereka baru saja lulus bersama dari suatu lembaga pendidikan bahasa inggris. Saat membacanya, semakin lama suaranya semakin mengecil. Ia merasa sendiri, sepi, tidak ada yang memegangi kertas bersama. Airmatanya pun menetes.
Angin berhembus melewati telinganya. Arvi terkesiap. Ia seperti mendengar suara Luna. Luna yang berbisik. Menenangkannya. Membuatnya tidak merasa sendiri lagi. Tersenyum padanya.
Arvi menghapus airmatanya. Ia tahu, ia harus tegar. Ia menyesal karena tidak memaafkan Luna hanya karena gengsi. Namun ia tahu, Luna tidak mempermasalahkannya.
Sebelum ia pergi, Arvi meletakkan sebuah kado kecil. Arvi tersenyum sendiri saat ingat apa yang ia bicarakan dengan Dion saat itu. Mereka hanya berdiskusi tentang kado apa yang harusnya mereka beri saat ulangtahun Luna yang ke-17. Dan itu adalah hari ini.
“Happy birthday, my always best friend”
Aku tahu, ini semua bukan murni salahmu. Akupun terlibat dalam masalah ini. Dan aku bukanlah murni sebagai objek penderita disini. Perbuatanku juga mempengaruhi semuanya. Dan aku tahu, salahku begitu kejam menuduhnya, menuntut tanggung jawab sepenuhnya pada dia. Dan itu sebuah kesalahan yang amat fatal.
Sebuah keegoisan telah merusak tali persahabatanku. Dengan egoisnya aku telah menuduhnya, melampiaskan segala emosi yang ada pada saat itu. Dan aku tahu itu salah. Tapi tetap saja aku melakukannya. Dan itu sebuah kebodohan yang mungkin tak akan dimaafkan olehnya.
Aku tahu dia. Aku tahu dia sampai ke rahasia terkelamnya. Dan begitu juga sebaliknya. Yang aku tidak mengerti, mengapa semua ini terjadi. Padahal kami telah mengenal satu sama lainnya sebegitu dalamnya. Tapi mengapa kami tidak bisa mengerti satu sama lain? Mengapa kami begitu mudahnya terbawa oleh emosi? Sebenarnya apa yang terjadi pada kami?
Padahal dulu kami begitu akrab. Padahal dulu kami begitu mengerti satu sama lain. Pasti ada alasan lain. Aku yakin sekali akan pikiranku satu ini.
Besok, aku akan coba meminta maaf padanya. Dan aku harap, dia akan memaafkanku.
***
Baik, sepertinya aku salah. SALAH BESAR. Dengar itu baik-baik. dia sama sekali tidak bisa mengertiku sedikitpun. Tidak bisa mengerti kesalahan orang yang dilakukan secara tidak sengaja. Dan juga dia tidak mau mengakui kesalahan diri sendiri.
Seharusnya dia tidak marah-marah seperti tadi. Seharusnya dia tidak membentakku seperti tadi. Aku sudah menahan emosiku agar kami bisa berbaikan. Tapi nyatanya dia malah membentakku, tidak menghargai satu patah katapun yang keluar dari mulutku. Apakah itu seorang sahabat? Bahkan apa bisa dia dibilang temanku? Tidak sama sekali.
Cukup sudah, aku sudah bosan. Selama ini aku sudah cukup bersabar menghadapi sifat-sifatnya yang benar-benar membuatku muak. Aku bersabar karena aku tahu akupun juga mempunyai sifat-sifat yang membuat dia kesal. Tapi rupanya kesabaran aku ini tidak dibalas setitikpun olehnya. Jadi percuma saja aku bersabar lebih lama lagi. Percuma saja aku berusaha mengerti dia. Hanya ssebuah usaha yang sia-sia.
Aku paham dia sangat amat marah padaku. Kesalahanku, yang langsung saja menuduhnya tanpa investigasi terlebih dahulu, membuatnya merasa dikhianati. Tapi memang, berita itu sangat amat membuatku marah. Dion adalah pacarku. Dia adalah orang yang sangat kusayangi, seperti aku menyayangi dia. Karena itu aku langsung saja percaya dengan berita miring itu. Oke, oke, aku memang salah. Tapi itu human error, oke? Dan aku tidak percaya dia tidak mengerti hal itu.
Jika ditanya perasaanku, aku sangat marah. Namun jauh dilubuk hatiku, aku sangat sedih. Melebihi amarahku. Aku sedih mengapa persahabatanku dapat hancur begitu saja. Hanya karena emosi sesaatku. Hanya karena salah paham yang sepele. Hanya karena seseorang yang baru saja memasuki hidupku, hidup kami. Dion, Irvan, Ratih, Merli, semuanya. Aku benci Merli, dia yang telah memberitahuku gossip itu. Aku benci Ratih, dia yang menghasutku agar langsung melabrak dia. Aku benci Irvan, dia membuat sahabatku tidak mau memaafkanku. Aku benci Dion, dia yang membuatku buta akan segala kebaikkan sahabatku. Mengapa semua ini terjadi?
Aku tidak akan mengizinkan diriku untuk menangisi keadaan. Tapi disaat seperti ini, aku ingin sekali menangis. Aku ingin sekali menumpahkan segala kesedihanku. Aku ingin bercerita. Tapi dengan siapa? Sahabatkulah objek yang ingin kuceritakan. Jadi tidak mungkin aku akan bercerita dengan dia. Lagipula dia tidak akan mendengarkan saat ini. Lalu, kepada siapa aku akan bercerita?
***
Sebenarnya aku merasa tersiksa. Sangat tersiksa. Setiap kali aku berjumpa dengannya di koridor sekolah. Apalagi kami sekelas. Dan dahulu kami duduk sebangku. Tentu saja dia memilih pindah karena pertikaian kami ini. Walaupun dari luar aku tampak biasa, tampak juga marah dengannya, namun sesungguhnya aku menangis dalam hati.
Dahulu, untukku sekolah adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Selain aku sangat suka mempelajari sesuatu yang baru, juga karena ada dia. Dia adalah orang yang selalu membuatku bahagia. Saling mengerti satu sama lain, saling melengkapi satu sama lain. Rasanya teriris hatiku saat melihatnya menjauh dariku. Membuang mukanya dariku. Berjalan dengan orang lain yang bahkan tidak dia, maksudku kami, sukai. Aku tahu maksudnya. Dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa berdiri tanpa aku. dan sejujurnya itu sangat membuatku sedih.
Aku memilih sendirian. Sendirian merenungi masalah ini. Sebenarnya bagaimana kronologis masalah ini?
Pertama, Merli dan Ratih mendatangiku. Mereka memberitahuku kalau Arvi sedang berduaan dengan Dion. Pertama aku tidak begitu percaya. Aku percaya Dion dan Arvi. Arvi adalah sahabatku yang sangat berharga dan aku kenal dia. Dia tidak akan merebut Dion apapun yang terjadi.
Namun, tiga hari berturut-turut Merli dan Ratih mengatakan hal yang sama. Mau tidak mau aku harus menyelidikinya. Dan suatu saat aku menemukan mereka sedang duduk berdua dikantin, bercengkrama dengan riangnya. Jujur, aku emosi. Namun aku mencoba berpikir positif, mungkin mereka ada hal yang harus dibicarakan. Mungkin.
Dan sungguh aku benci ketidaktahuanku saat itu.
Setelah itu aku mulai menjauh dari Arvi. Arvi bingung, dan sempat bertanya kenapa. Namun aku memilih bungkam, sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya terhadap Arvi. Aku ingin tidak percaya, namun tidak bisa. Keduanya tidak pernah memberitahuku apa yang mereka bicarakan. Sesaat aku merasa dikhianati oleh pacar dan sahabatku sendiri. Dan itu sakit.
Merli dan Ratih berusaha membujukku untuk melabrak dia. Namun aku berusaha untuk menolak. Walaupun jauh dilubuk hatiku ingin sekali rasanya memuntahkan seluruh kekecewaanku di depan mukanya, namun aku bertahan. Tapi pertahananku lama-lama luruh dan terjadilah saat itu.
Saat aku memuntahkan seluruh amarahku didepan mukanya.
Aku ingat ekspresi dia saat itu. Antara marah, tidak percaya, dan kecewa. Marah karena telah diperlakukan buruk didepan umum. Tidak percaya aku akan mengamuk didepannya. Dan kecewa karena aku dengan mudahnya percaya dengan omong kosong belaka. Bagaimana tidak, itu terjadi di depan mukaku sendiri. Aku melihatnya.
Kami sama-sama kecewa saat itu. Dan hari itu, aku catat sebagai hari terburukku. Hari dimana semua hal menyenangkan yang telah kulalui bersamanya hilang begitu saja. Hanya karena emosi sesaat.
Sakit.
Hati ini terasa sakit sekali. perasaan kehilangan memang saat menyakitkan. Seperti dulu saat aku putus dengan Irvan. Namun kali ini lebih sakit. Jauh lebih sakit. Arvi adalah sahabat sejatiku, dahulu aku berpikir begitu. Dan aku berharap itu tercapai. Namun harapan hanyalah harapan.
***
Hari ini hari kedua aku diopname. Penyakit jantungku sudah semakin parah, dan membuatku harus dioperasi. Dan lebih parahnya lagi, Arvi belum mau memaafkanku.
Aku tahu dia sangat marah. Namun aku tidak tahu dia akan marah seperti ini. Aku ingin meminta maaf, tapi aku tidak bisa. Aku harus terus tidur di ranjang rumah sakit ini, menunggu saatnya aku dioperasi.
Selama dirumah sakit, aku berkali-kali mencoba untuk menelpon telepon seluler milik Arvi. Namun pilihannya hanya tiga. Mati, tidak diangkat, atau di reject. Pesanku juga tidak dibalas. Dan aku yakin, sebelum dibacapun sudah dihapusnya. Belakangan ini aku semakin skeptis. Hidupku tinggal sebentar lagi, dan sahabatku belum mau untuk memaafkanku. Dan menurutku itu sama saja mati.
Berkali-kali Dion menjengukku di rumah sakit. dia berusaha untuk menghiburku. Aku sedikit kecewa terhadapnya. Dia belum mau memberitahuku apa yang dibicarakannya dengan Arvi. Dia selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku berusaha menginterogasinya. Hal ini membuat dia sangat merasa bersalah. Aku tahu itu. Tergambar jelas dimukanya. Namun aku tidak peduli.
Saat ini, di detik-detik terakhir hidupku ini, aku hanya ingin Arvi ada disampingku. Tidak perlu menginap. Tidak perlu mengajakku mengobrol. Tidak perlu menghiburku. Cukup berada disampingku, diam tanpa bahasa, namun aku tahu dia sedang memberiku kekuatan untuk terus hidup.
***
Nanti jam empat sore, aku akan menjalani operasi. Dan aku ingin cepat mengakhiri hidupku ini. Kupikir untuk apa aku menjalani operasi kalau kemungkinanku untuk bertahan hanya 20%? Saat menyetujuinya, yang aku pikirkan hanyalah kalau aku mati, Arvi akan memaafkanku. Namun jika sampai saat ini Arvi masih belum menjawab telepon atau membalas pesaku, sepertinya itu sangat mustahil.
Sekarang pukul tiga sore. Satu jam lagi operasi akan dimulai. Dion datang untuk menemaniku. Parasnya pucat. Dia belum tidur sejak semalam. Dan dia bolos sekolah selama tiga hari berturut-turut untuk menemaniku. Aku merasa tersanjung, namun hal itu tidak bisa membuatku bahagia. Yang aku butuhkan hanya Arvi.
Aku sudah masuk ruang isolasi. Sepuluh menit lagi aku akan memasuki ruang operasi. Diruang ini aku diperiksa secara keseluruhan untuk memastikan bahwa kesehatanku cukup mendukung jalannya operasi. Untuk membesarkan peluang aku bertahan setelah operasi. Namun aku tidak peduli. Arvi masih belum mau memaafkanku. Jadi tidak ada gunanya aku bertahan setelah operasi.
Tiba-tiba, dari arah pintu di ujung lorong, ada suara derap langkah lari. Aku menyeringai. Tidak mungkin ia akan diizinkan masuk ke dalam lorong menuju ruang isolasi.
Aku memejamkan mata. Sebentar lagi, aku akan dibius dan entah akan terbangun lagi atau tidak. Namun aku mendengar suara ketokan di kaca tembus pandang yang mengarah ke lorong. Sesaat aku merasa itu malaikat pencabut nyawa yang sedang memanggilku. Atau setidaknya itu adalah ilusiku karena putus asa.
Namun ternyata tidak. Itu Arvi. Nafasnya terengah-engah. Rupanya dia yang berlari menyusuri lorong tadi. Aku terperangah dan tersenyum. Aku meminta dokter yang akan mendorongku memasuki ruang operasi untuk mendorongku mendekati kaca. Arvi memandangku dari sana.
Sesaat kami saling berpandangan. Arvi tersenyum. Aku berusaha berkata, tapi Arvi menempelkan telunjukkan ke jendela, pertanda menyuruhku untuk diam. Kami saling senyum. Aku tahu dia telah memaafkanku. Aku tahu itu.
Dia menempelkan telapak tangannya ke kaca. Aku berusaha untuk mengikutinya. Aku dan Arvi berkhayal tangan kami bersentuhan, saling mengungkapkan segala rasa dan pikiran tanpa kata-kata. Arvi tersenyum sekali lagi, dan aku mengikutinya. Dokter yang akan mengoperasiku memintaku untuk melepaskan tanganku dari kaca karena tempat tidurku akan didorong ke dalam ruang operasi. Rasanya enggan sekali kulepas, namun aku harus melepasnya. Karena aku harus menghadapi takdirku. Dan aku tidak takut.
Karena aku tahu aku punya seorang sahabat sejati yang aku harapkan. Karena aku tahu sesusah apapun dia akan menyemangatiku. Karena aku tahu, dia telah memaafkan kesalahanku.
Dan karena aku tahu aku masih punya alasan untuk hidup.
***
Arvi mengenggam selembar kertas lusuh ditangannya yang bergetar. Rasanya tidak perlu ia mengeluatkan sepatah katapun untuk mengungkapkan perasaannya saat itu.
Kertas itu ia baca sekali lagi, dengan penuh penghayatan. Dan kali ini dengan suara yang lebih lantang. Karena ia ingin agar Luna mendengarnya.
When the earth fell
I don't promise myself to be there
Even when you try to yell
Coz I might stay in other side of the sphere
But I will pray you’ll stop waiting
And get a friend near you to run together
So both of you didn’t fell
And find a place of shelter
When you will commit suicide
No oath given form me to save you
Or being right there on your side
Coz maybe I don't even know what to do
But I will make you sure you know
Whether your decision is right or wrong
And I’ll just get on your flow
Hoping you’ll be just as strong
When both of us are away
Never have I promised to travel searching
To give you word of shelter to say
Coz I might not able to think
But I’ll think of you
For the existence you let me feel
Even they’re just a lifetime’s few
Because all these feeling are real
When I vanished from you
I don't say I'll say sentimental stuff
Which I bet far from true
Coz I'll disgusted about the buff
I might just say what I hate about you
So you’ll get even more friends
That will never once flew
And never think to trenches
When you went all stressed
I'm not saying I'll give you peace
For frustration to suppressed
Coz I might prefer to enjoy my own bliss
But still, I have something to give
That is to keep on silent
So with independence you’ll able to live
And alone you’ll have troubles prevented
We’ll both grow
Sail on different ship
With different water flow
But same unique kind of friendship
Puisi dengan bahasa inggris yang ia tulis bersama Luna saat mereka baru saja lulus bersama dari suatu lembaga pendidikan bahasa inggris. Saat membacanya, semakin lama suaranya semakin mengecil. Ia merasa sendiri, sepi, tidak ada yang memegangi kertas bersama. Airmatanya pun menetes.
Angin berhembus melewati telinganya. Arvi terkesiap. Ia seperti mendengar suara Luna. Luna yang berbisik. Menenangkannya. Membuatnya tidak merasa sendiri lagi. Tersenyum padanya.
Arvi menghapus airmatanya. Ia tahu, ia harus tegar. Ia menyesal karena tidak memaafkan Luna hanya karena gengsi. Namun ia tahu, Luna tidak mempermasalahkannya.
Sebelum ia pergi, Arvi meletakkan sebuah kado kecil. Arvi tersenyum sendiri saat ingat apa yang ia bicarakan dengan Dion saat itu. Mereka hanya berdiskusi tentang kado apa yang harusnya mereka beri saat ulangtahun Luna yang ke-17. Dan itu adalah hari ini.
“Happy birthday, my always best friend”
1 pujian fans^^:
ih gue gk tau kepa kalo di front page ada spasi segitu panjang,, kenapa yaa...??
Post a Comment